Istilah film pendek mulai populer sejak tahun 50-an, sedangkan alur perkembangan film pendek dimulai dari Jerman dan Perancis. Para penggagas film pendek itu ialah Manifesto Oberhausen di Jerman dan kelompok Jean Mitry di
Perancis. Kemudian muncul Oberhausen Kurzfilmtage yang sekarang menjadi
festival film pendek tertua di dunia, tepatnya di kota Oberhausen
sendiri. Tidak menunggu waktu yang lama Paris pun
menjadi saingan dengan kemunculan Festival du Court Metrage de
Clermont-Ferrand yang diadakan tiap tahun. Festival-festival film pendek
di Eropa menjadi
ajang eksibisi utama yang sarat pengunjung, apalagi didukung dengan
munculnya cinema house bervolume kecil. Masyarakata pun dapat
menyaksikan pemutaran fil-film pendek ini di harmpir setiap sudut kota
di Eropa.
Di Indonesia film pendek sampai sekarang masih menjadi sosok yang termarjinalkan dari sudut pandang pemirsa.
Film pendek Indonesia mulai muncul di kalangan pembuat film Indonesia
sejak munculnya pendidikan sinematografi di IKJ. Perhatian para film-enthusiasts di
era tahun 70-an bisa dikatakan cukup baik dalam membangun atmosfer
positif bagi perkembangan film pendek di Jakarta. Bahkan, Dewan Kesenian
Jakarta mengadakan Festival Film Mini setiap
tahunnya semenjak tahun 1974, dimana format film yang diterima hanyalah
seluloid 8mm. Tapi, sangat disayangkan di tahun 1981 Festival Film Mini
berhenti karena kekurangan dana.
Tahun 1975 mulai muncul Kelompok Sinema Delapan yang
dimotori Johan Teranggi dan Norman Benny. Kelompok ini secara simultan
terus mengkampanyekan pada masyarakat bahwa seluloid 8mm dapat digunakan
sebagai media ekspresi kesenian. Hingga di tahun 1984 munculnya
hubungan internasional diantaranya dengan para filmmaker Eropa terutama
dengan Festival Film Pendek Oberhausen. Hal itu, membuat film pendek
mulai berani unjuk gigi dimuka dunia. Keadaan ini memancing munculnya
Forum Film Pendek di Jakarta, yang berisikan para seniman, praktisi
film, mahasiswa dan penikmat film dari berbagai kampus untuk secara
intensif membangun networking yang baik di kalangan pemerhati film.
Tapi, tetap saja hal itu tidak berlangsung lama karena Forum Film Pendek
hanya bertahan selama dua tahun saja. Secara garis besar, keadaan film
pendek di Indonesia memang dapat dikatakan ironis. Karena film pendek
Indonesia hampir tidak pernah tersampaikan ke pemirsa lokal-nya secara
luas karena miskinnya ajang-ajang eksibisi dalam negeri. Tetapi di sisi
lain, di dunia internasional film pendek Indonesia cukup mampu berbicara
dan eksis. Dari sejak karya-karya Slamet Rahardjo, Gotot Prakosa, Nan
T. Achnas, Garin Nugroho, sampai ke generasi Riri Riza dan Nanang
Istiabudi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar